Pageviews!

read this:

mohon selalu cantumkan nama penulis, link atau nama blog setiap kali anda ingin menyalin atau men-copy paste.

Wednesday, January 21, 2015

Artikel Kesalahan Sistem Metode Pembelajaran di Indonesia (Surat untuk Kemendikbud dan Guru - Guru Indonesia)


"4 x 6 Atau 6 x 4?!"
Habibi seorang bocah kelas II SD yang sedih dan galau memikirkan PR matematikanya yang dicoret-coret oleh banyak tinta merah oleh gurunya, skor yang ia dapat pada PRnya hanya angka 20. Habibi belum mengerti soal-soal yang membuatnya mumet. Ia menanyakan semua yang ia tidak tahu pada kakaknya bernama Muhammad Erfas Maulana, mahasiswa teknik mesin yang selalu siap mengajari dengan sabar dan telaten. Habibi selalu percaya diri dengan jawaban sang kakak. Tapi, mengapa jawaban kakaknya dinilai salah oleh sang guru?

Soal tersebut berbunyi,
"4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = ...."
sementara Habibi menjawab,
"4 x 6 = 24"

Rupanya, jawaban itu dianggap salah total. Sebab, jawaban yang benar tercantum adalah 6 x 4 = 24.
Habibi melapor pada kakaknya. Tidak menerima penilaian sang guru Erfas mengajukan surat protes.

Bu guru yang terhormat, Mohon maaf sebelumnya, saya kakak dari Habibi yang mengajarinya mengerjakan PR diatas. Bu, bukankah jawaban dari Habibi benar semua.. apa mungkin karna letak angkanya terbalik? sehingga disalahkan?
Menurut saya, masalah peletakan bukanlah masalah. Walau peletakan berbeda tetap hasilnya sama-sama 24. Terimakasih bu, mohon perhatiannya. Semoga dapat dipertimbangkan.

Tetapi mungkin surat itu hanya sampai di meja guru, Erfas pun meng-upload gambar surat dan isi PR Habibi. Ratusan orang men-share posting-an Erfas tersebut. Banyak yang mencela guru, ada pula yang mengutuk sistem pembelajaran Indonesia. Facebook menjadi riuh akan 4 x 6 dan 6 x 4.

Lima belas tahun yang lalu, di sebuah elementary school (Sekolah Dasar) di Amerika Serikat, seorang pria berkandidat Doktor mengajukan protes kepada guru SD tempat sang anak belajar. Menariknya, protes bukan lantaran si bocah diberi skor 20. Justru, sang ayah protes karna karangan berbahasa Inggris yang ditulis si anak diberi nilai excellent atau sempurna, hebat, sangat bagus. Padahal, sang anak baru tiba di Amerika dan baru belajar bahasa. Menurut kandidat doktor itu, karangan sang anak buruk, logikanya sederhana, kemampuan verbal masih sangat terbatas sehingga patutnya guru memberikan skor E.

"Apa anda tidak salah dalam memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri."
Sewaktu dia mengaajukan protes, ibu guru yang menerima hanya bertanya singkat "Maaf, Bapak dari mana?" "Dari Indonesia," jawabnya. Dia pun tersenyum. Ibu guru yang simpatik itu berujar, "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik disini. Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda. Namun, untuk anak yang baru tiba dari negara yang bahasa aslinya atau yang bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin ini adalah karya yang hebat."
Anda tahu, siapa kandidat doktor yang "memprotes" guru anaknya itu? Dia adalah Prof. Rhenald Kasali Phd.

Dua cerita diatas disajikan supaya kita bisa jeli dalam menyaksikan paradoks yang "menampar" wajah pendidikan kita.
Kasus 4 x 6 atau 6 x 4 adalah letupan kecil, sebuah contoh betapa guru plus sistem pendidikan kita belum mengembangkan budaya penghargaan kepada anak. Mengapa ketika "salah" menjawab, anak langsung diberi skor salah total? Mengapa tidak ada penghargaan bahwa anak sudah meluangkan waktu, untuk mau, bersedia mengorbankan waktu istirahat dan bermainnya untuk mengerjakan tugas maupun PR? Mengapa guru tidak mengapresiasi upaya anak yang mau mencari mentor dan bertanya kepada kakaknya? Dan, mengapa kita begitu terpaku sengan nilai skor kuantitatif?

Terlalu banyak "Mengapa" yang bisa terjadi. Murid hanya dipacu untuk mengerjakan soal, dengan kunci jawaban yang sudah dipegang erat olehsang guru. Jadi, Murid nyaris tidak diberi kesempatan untuk menunjukan potensi masing - masing. Ketika mengkreasikan suatu hal, kebanyakan murid di Indonesia akan hanya menelan pil pahit berupa judgement dari guru: "Karya ini buruk sekali!", "Kurang rapi!", dan sebagainya. Bahkan pernah karya seni teman saya dipamerkan keseluruh kelas dan dijadikan contoh bahwa ini bukanlah cara yang bagus untuk berkreasi dan menjelek - jelekkannya didepan semua mata murid.

Saya minta tolong untuk Pak Jokowi yang menempatkan Anies Baswedan dan orang - orang terbaik di kementerian ini. Buat apa anggaran tinggi, tapi distribusi buku masih acakadut, dan sistem belajar mengajar masih seperti ini. Apa mungkin dari judulnya saja, Kurikulum 2013, Merangsang nalar dan membangun karakter.

Dan tentu saya yakin seorang Prof B.J Habibie tak akan menjadi profesor hebat apabila matematikanya dulu hanya diberi skor 20 oleh sang guru.




Sekian, beberapa kalimat saya ambil melalui koran yang ditulis oleh pemerhati pendidikan orangtua siswa "Nurul Rahmawati"

1 comment:

  1. Keren,Mendidik, Kata kata nya bagus, terimakasih udah mau menyebarluaskan berita ini!

    ReplyDelete