TUGAS BAHASA INDONESIA SEMESTER 2
MENYUSUN TEKS BIOGRAFI SUATU TOKOH
SMPN 1 CILEGON
Kelas: VIII/A
Dewi Sartika

Sedari kecil,
Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih
kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering memperagakan
praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak
pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting
dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu,
Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan
oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang
ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum
ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan
diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Setelah
remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah
dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong
pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang
sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak
menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang
kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir.
Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika
bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis
pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah
ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang
perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya,
menjadi materi pelajaran saat itu
Usai
berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda.
Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny.
Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang,
menggunakan ruangan pendopo kabupaten
Bandung.
Setahun
kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan
Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan
pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama
keluar pada tahun 1909, bahasa sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan
sekolah formal.
Pada
tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola
Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki
cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan
Sakola Istri di kota-kota kabupaten
(setengah
dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914,
nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan
Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola
Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di
mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah
Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada
tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September
1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah
berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden
Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang
jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dewi Sartika
meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara
pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga
tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan
Karang Anyar, Kabupaten Bandung.
Semangat dan jasanya
dalam memperjuangkan kaum wanita agar mendapatkan pendidikan tidak sepantasnya
kita lupakan. Jadi, sudah sepantasnya kita mengenang jasa Dewi Sartika. Semoga
dengan apa yang telah dilakukannya, wanita-wanita Indonesia dapat memperoleh
pendidikan yang lebih baik.
Struktur Teks
Biografi Berjudul “Dewi Sartika”
No
|
Jenis Struktur
|
Teks Biografi
|
1.
|
Orientasi
|
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden
Rajapermas dengan Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu
itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda.
Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakak ibunya) yang
menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan
mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya
dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
|
2.
|
Peristiwa
|
Sedari kecil, Dewi Sartika
sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil
bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering memperagakan praktik di
sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di
kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting
dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru
berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan
baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh
anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak
(apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan
diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika
kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semakin
menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh
pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama.
Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya
serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita
pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun
karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika
bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika
menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, dari pernikahannya itu ia
memiliki putra bernama R. Atot, yang merupakan Ketua Umum BIVB, sebuah klub
sepak bola yang merupakan cikal bakal dari Persib Bandung. Suami dari Dewi
Sartika memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di
sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Pada tahun-tahun berikutnya
di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang
dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama
dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di
kota-kota kabupaten
(setengah dari seluruh kota
kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya
diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).
Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan
Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana
Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah
Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya
pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Dewi Sartika meninggal 11
September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman
sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun
kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang
Anyar, Kabupaten Bandung.
|
3.
|
Reorientasi
|
Semangat
dan jasanya dalam memperjuangkan kaum wanita agar mendapatkan pendidikan
tidak sepantasnya kita lupakan. Jadi, sudah sepantasnya kita mengenang jasa
Dewi Sartika. Semoga dengan apa yang telah dilakukannya, wanita-wanita
Indonesia dapat memperoleh pendidikan yang lebih baik.
|
No comments:
Post a Comment